Subyek musyawarah dan Musyawarah di zaman Nabi
Dalam tafsir Almaraghi telah di sebutkan bahwa
orang yang berhak untuk mengikuti musyawarah adalah orang yang berlaku adil dan
mempunyai ilmu. Mampu menguasai materi dan memilki peran serta dalam musyawarah
tersebut. di masa Rasulullah, beliau pernah melaksanakan musyawarah di saat
terjadiya perang uhud.
Dalam surat Ali Imran ayat 160 disebutkan sebagai fa’fu
anhum (maafkan mereka). Maaf secara harfiah, bearti “menghapus”. Memaafkan
adalah menghapuskan bekas luka dihati akibat perilaku pihak lain yang tidak
wajar. Ini perlu, karena tiada musyawarah tanpa pihak lain, sedangkan kecerahan
pikiran hanya hadir bersamaan dengan sinarnya kekeruhan hati.
Disisi lain, orang yang bermusyawarah harus menyiapkan
mental untuk selalu memberi maaf. Karena mungkin saja ketika bermusyawarah
terjadi perbedaan pendapat, atau keluar kalimat-kalimat yang menyinggung
perasaan orang lain. Dan bila hal-hal itu masuk kedalam hati, akan mengeruh
pikiran, bahkan boleh jadi akan mengubah musyawarah menjadi pertengkaran.
Itulah kandungan pesan fa’fu anhum
Asbabun-Nuzul dari ayat
ini adalah pada waktu kaum muslimin mendapatkan kemenangan dalam perang Badar,
banyak orang-orang musyrikin yang menjadi tawanan perang. Untuk menyelesaikan
masalah itu Rasulullah SAW mengadakan musyawarah dengan Abu Bakar Shiddik dan
Umar Bin Khattab. Rasulullah meminta pendapat Abu Bakar tentang tawanan perang
tersebut. Abu Bakar memberikan pendapatnya, bahwa tawanan perang itu sebaiknya
dikembalikan keluarganya dengan membayar tebusan. Hal mana sebagai bukti bahwa
Islam itu lunak, apalagi kehadirannya baru saja. Kepada Umar Bin Khattab juga
dimintai pendapatnya. Dia mengemukakan, bahwa tawanan perang itu dibunuh saja.
Yang diperintahkan membunuh adalah keluarganya. Hal ini dimaksudkan agar
dibelakang hari mereka tidak berani lagi menghina dan mencaci Islam. Sebab
bagaimanapun Islam perlu memperlihatkan kekuatannya di mata mereka. Dari dua
pendapat yang bertolak belakang ini Rasulullah SAW sangat kesulitan untuk
mengambil kesimpulan. Akhirnya Allah SWT menurunkan ayat ini yang menegaskan
agar Rasulullah SAW berbuat lemah lembut. Kalau berkeras hati mereka tidak akan
menarik simpati sehingga mereka akan lari dari ajaran Islam. Ayat ini diturunkan sebagai dukungan atas pendapat Abu
Bakar Shiddik. Di sisi lain memberi peringatan kepada Umar Bin Khattab. Apabila
dalam permusyawahan pendapatnya tidak diterima hendaklah bertawakkallah kepada
Allah SWT. Sebab Allah sangat mencintai orang-orang yang bertawakkal. Dengan
turunnya ayat ini maka tawanan perang itupun dilepaskan sebagaimana saran Abu
Bakar.
Rasulullah juga
bermusyawarah dengan para sahabatnya pada waktu menghadapi perang Badar dengan
menawarkan idenya untuk menghadang kafilah Musyrikin Quraisy yang kembali dari
Syam ide tersebut disepakati oleh para sahabat dengan kata-kata yang
meyakinkan. Mereka berkata “Ya Rasulullah, sekiranya engkau mengajak kami
berjalan menyebrangi lautan ini, tentu kami akan kami lakukan dan sekali-kali
tidaklah kami akan bersikap seperti Kaum Musa yang berkata kepada Nabinya,
pergilah engkau bersama Tuhanmu berperang, sedang kami akan tetap tinggal
disini. Dalam masalah peperangan dan sebagainya yang tidak ada diturunkan nash
tentang hal itu untuk mengeluarkan pendapat, memperbaiki diri dan mengangkat
kekuasaan mereka.
Musyawarah di zaman sekarang
Musyawarah berasal dari kata Syawara yaitu berasal dari Bahasa Arab yang berarti
berunding, urun rembuk atau mengatakan dan mengajukan sesuatu.Istilah-istilah lain dalam tata Negara Indonesia dan kehidupan
modern
tentang musyawarah dikenal dengan sebutan “syuro”, “rembug desa”,
“kerapatan nagari” bahkan “demokrasi”. Kewajiban musyawarah hanya untuk
urusan keduniawian. Jadi musyawarah adalah merupakan suatu upaya bersama
dengan sikap
rendah hati
untuk memecahkan persoalan (mencari jalan keluar) guna mengambil
keputusan bersama dalam penyelesaian atau pemecahan masalah yang
menyangkut urusan keduniawian.
Saat ini musyawarah selalu dikait-kaitkan dengan dunia
politik,
demokrasi.Bahkan hal tersebut tidak dapat dipisahkan , pada prinsipnya musyawarah adalah bagian dari
demokrasi, dalam
demokrasi pancasila penentuan hasil dilakukan dengan cara musyawarah
mufakat dan jika terjadi kebuntuan yang berkepanjangan barulah dilakukan
votting,
jadi demokrasi tidaklah sama dengan votting.Cara votting cenderung
dipilih oleh sebagian besar negara demokrasi karena lebih praktis,
menghemat waktu dan lebih simpel daripada musyawarah yang berbelit-belit
itulah sebabnya votting cenderung identik dengan demokrasi padahal
votting sebenarnya adalah salah satu cara dalam mekanisme penentuan
pendapat dalam sistem demokrasi.